Guyv7L2vSNhTu9NNIC4AGodmAsDGZpqzql8qRx1N
Bookmark

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

kata-kata sufi, kata-kata sufi abdullah bin mas’ud, kata-kata sufi abdullah bin mas’ud dalam bahasa arab dan bahasa indonesia,

Halo! Apakah Anda sedaang mencari penjelasan tentang kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia? Jika jawaban Anda adalah “Iya”, selamat! Sekarang Anda sedang membaca artikel yang tepat. Mengapa? Karena itulah yang akan saya jelaskan pada artikel ini. Jadi, Anda harus membacanya sampai selesai!

Biografi Singkat Abdullah bin Mas’ud

Sebelum saya berbicara lebih lanjut tentang kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, terlebih dahulu saya akan menjelaskan biografi singkat Abdullah bin Mas’ud. Bagi saya, secara mutlak, Anda harus mengetahui itu agar Anda paham figur agung yang sedang kita bahas kata-kata sufinya pada artikel ini.

Abdullah bin Mas’ud memiliki nama lengkap Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hudzali. Dia memiliki julukan “Abu Abdirrahman”. Dia adalah salah satu sahabat agung nabi Muhammad Saw. Dia adalah salah satu penduduk Makkah dan salah satu orang yang terlebih dahulu masuk Islam.

Setelah Abdullah bin Mas’ud masuk Islam, dia adalah orang pertama yang membaca al-Quran dengan suara keras di Makkah. Dia melayani Nabi Muhammad dengan sangat baik dalam banyak kondisi.

Abdullah bin Mas’ud adalah sahabat Nabi Muhammad Saw. yang sangat senang memakai minyak wangi yang sangat banyak. Jika dikeluar rumah, maka orang-orang di jalan bisa aroma wanginya. 

Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. yang memahami al-Quran dengan sangat baik. Beliau mendengarkan bacaan Abdullah. Kemudian beliau bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَطْبًا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْ قِرَآءَةَ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ . وَقَالَ : تَمَسَّكُوْا بِعَهْدِ عَبْدِ اللهِ

Barangsiapa ingin membaca al-Quran dengan baik sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas’ud). Beliau juga bersabda, “Berpeganglah pada ucapan Abdullah (Abdullah bin Mas’ud).

Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang sangat dekat dengan beliau. Karena itulah Abdullah bin Mas’ud sangat memahami beliau, mendengarkan banyak ucapan beliau, dan melihat banyak hal yang beliau ucapkan. Dalam literasi hadits dijelaskan, bahwa Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan 848 hadits.

Setelah Nabi Muhammad Saw. meninggal dunia, Abdullah bin Mas’ud menjadi orang yang bertanggung jawab mengurus Baitul Mal di Kuffah. Kemudian dia kembali ke Madinah pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dia meninggal dunia di sana pada tahun 32 hijriah (pendapat lain mengatakan: 33 hijriah).

Sebelum Abdullah bin Mas’ud meninggal dunia, ketika dia sedang sakit, Utsman bin Affan datang mengunjunginya dan bertanya, “Apa yang sedang Anda ratapi?” Dia menjawab, “Dosa-dosaku.” Utsman bin Affan bertanya, “Apa yang Anda inginkan?” Dia menjawab, “Rahmat Tuhanku.” Utsman bin Affan bertanya, “Apakah perlu kami menyuruh tabib untuk mengobati Anda?” Dia menjawab, “Tabib membuatku sakit.”

Muhammad Abdurrauf al-Munawi dalam bukunya yang berjudul Al-Kawâkib ad-Durriyyah fî Tarâjumi as-Sâdah ash-Shufiyyah mengkategorikan Abdullah bin Mas’ud sebagai salah satu tokoh sufi agung generasi pertama. Ada banyak sisi kehidupannya yang menjadi sumber insiprasi dalam tasawuf dan ketasawufan. Dia adalah salah satu sufi agung dalam sejarah Islam.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

kata-kata sufi, kata-kata sufi abdullah bin mas’ud, kata-kata sufi abdullah bin mas’ud dalam bahasa arab dan bahasa indonesia,

Ada banyak kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud. Sayanganya, saya tidak bisa menjelaskan itu semua sekarang. Pada artikel ini, saya hanya akan menjelaskan kata-kata sufinya saja.

Adapun kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia yang saya maksud adalah sebagai berikut:

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Pengangguran

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang pengangguran, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

أَكْرَهُ أَنْ أَرَى الرَّجُلَ فَارِغًا , لَا فِى عَمَلِ دُنْيَا وَلَا آخِرَة

Saya tidak suka melihat orang yang menganggur, tidak melakukan sesuatu untuk dunia dan tidak pula sesuatu untuk akhirat.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan ketidaksukaannya terhadap orang yang menganggur, yaitu mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun yang bermanfaat, baik untuk dunia maupun akhirat. Dalam konteks ini, dunia merujuk pada urusan dan tanggung jawab di kehidupan sehari-hari, seperti bekerja, belajar, atau berkontribusi kepada masyarakat. Sementara itu, akhirat mengacu pada kehidupan setelah mati, yang dalam pandangan Islam dicapai melalui ibadah, amal saleh, dan perbuatan baik.

Abdullah bin Mas’ud menggambarkan pentingnya menjalani hidup dengan tujuan dan produktivitas, baik secara duniawi maupun spiritual. Menganggur dianggap tidak bermanfaat karena berarti seseorang tidak menjalankan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, baik terhadap diri sendiri, keluarga, maupun komunitas. Lebih jauh lagi, mengabaikan kewajiban spiritual atau persiapan untuk kehidupan setelah mati juga dianggap sebagai suatu kekurangan besar.

Dengan demikian, Abdullah bin Mas’ud menekankan bahwa hidup yang ideal adalah yang diisi dengan kegiatan yang berarti, yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, serta memenuhi kewajiban agama. Tidak hanya fokus pada satu aspek kehidupan, tetapi mengintegrasikan keduanya—dunia dan akhirat—dalam keseharian.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Ilmu Sejati

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang ilmu sejati, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ , بَلْ بِالْخَشْيَةِ

Ilmu bukanlah dengan banyak meriwayatkan, tapi dengan rasa takut.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan bahwa ilmu sejati bukan hanya tentang seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki atau seberapa banyak riwayat yang dihafal, tetapi lebih kepada dampak spiritual dari ilmu tersebut, yaitu rasa takut kepada Allah. Dalam konteks ini, "rasa takut" merujuk pada ketakwaan atau kesadaran mendalam akan kebesaran dan keadilan Allah, yang memotivasi seseorang untuk bertindak sesuai dengan petunjuk-Nya.

Pengetahuan yang hanya dihafal atau dikumpulkan tanpa memberikan dampak pada perilaku atau spiritualitas seseorang dianggap kurang bermakna. Sebaliknya, ilmu yang benar adalah yang menghasilkan rasa takut kepada Allah, yang memotivasi seseorang untuk menjauhi dosa, menjalankan perintah-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Abdullah bin Mas’ud mengingatkan bahwa tujuan akhir dari mencari ilmu dalam Islam bukanlah sekadar menambah informasi atau pengetahuan teoretis, tetapi untuk membentuk karakter yang lebih baik dan meningkatkan kualitas ibadah. Ilmu yang tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah atau tidak memotivasi seseorang untuk menjalani hidup yang lebih taat dan berakhlak mulia, dianggap kurang memiliki nilai spiritual yang sejati.

Dengan demikian, ilmu dan rasa takut kepada Allah harus berjalan seiring untuk mencapai kesempurnaan dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Pengaruh Dosa Pada Ilmu yang Telah dipelajari

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang pengaruh dosa pada ilmu yang telah dipelajari, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

إِنِّي لَأَحْسَبُ الرَّجُلَ يَنْسَى الْعِلْمَ لِلْخَطِيْئَةِ يَعْمَلُها

Sungguh saya yakin seseorang melupakan ilmu karena kesalahan yang telah dia lakukan.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan keyakinan bahwa seseorang bisa kehilangan atau melupakan ilmu yang pernah dia pelajari karena dosa atau kesalahan yang dia lakukan. Dalam pandangan ini, ilmu dipandang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah, dan dosa atau perilaku buruk dapat menyebabkan ilmu itu ditarik kembali atau menjadi tidak efektif dalam diri seseorang.

Keyakinan ini berakar dari konsep spiritualitas dalam Islam yang menekankan bahwa dosa dapat menggelapkan hati dan pikiran seseorang. Ketika hati menjadi gelap, kemampuan seseorang untuk memahami, mengingat, dan memanfaatkan ilmu juga menurun. Ini adalah peringatan bahwa moralitas dan etika memainkan peran penting dalam pemeliharaan ilmu; seseorang yang terus-menerus melakukan dosa mungkin mendapati dirinya kehilangan kejelasan pikiran, ketajaman intelektual, atau bahkan lupa akan ilmu yang sudah dia pelajari.

Abdullah bin Mas’ud juga menekankan pentingnya menjaga perilaku dan hati agar tetap bersih dari dosa, karena dosa tidak hanya berdampak pada kehidupan akhirat, tetapi juga bisa merugikan dalam kehidupan dunia, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Dengan menjaga diri dari dosa, seseorang diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan ilmu yang dimilikinya, serta menggunakannya untuk kebaikan.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Pandangan Pesimistis Terhadap Kondisi Dunia Saat Ini

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang pandangan pesimistis terhadap kondisi dunia saat ini, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

ذَهَبَ صَفْوُ الدُّنْيَا وَ بَقِيَ كَدَرُها , وَالْمَوْتُ الْيَوْمَ تُحْفَةُ كُلِّ مُسْلِمٍ

Kejernihan dunia telah berlalu dan tersisa kekeruhannya. Kematian pada hari ini adalah hadiah yang indah bagi setiap muslim.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan pandangan pesimistis terhadap kondisi dunia saat ini, di mana "kejernihan" atau kebaikan dunia telah berlalu, dan yang tersisa hanyalah "kekeruhannya" atau keburukannya. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa dunia telah mengalami penurunan moral dan spiritual yang signifikan, sehingga tidak lagi menjadi tempat yang ideal untuk ditinggali.

Dalam konteks ini, kematian dianggap sebagai "hadiah yang indah" bagi setiap Muslim. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk meromantisasi kematian, tetapi lebih kepada pandangan bahwa kehidupan dunia yang penuh dengan kesulitan, cobaan, dan kejahatan dapat membuat kematian menjadi jalan menuju kedamaian dan peristirahatan abadi di akhirat. Bagi seorang Muslim yang beriman, kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari kehidupan yang lebih baik di sisi Allah, terutama jika dunia ini sudah dipenuhi dengan hal-hal yang merusak jiwa dan iman.

Abdullah bin Mas’ud menekankan pentingnya persiapan spiritual untuk menghadapi kematian dengan cara hidup yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Dalam situasi di mana dunia dianggap semakin buruk, kematian menjadi harapan bagi orang beriman untuk terbebas dari kesulitan dan mencapai kebahagiaan abadi di akhirat.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Kefakiran dan Kematian

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang kefakiran dan kematian, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

حَبَّذَا الْمَكْرُوْهَانِ : الْفَقْرُ وَالْمَوْتُ

Betapa baiknya dua hal yang dibenci: kefakiran dan kematian.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan bahwa dua hal yang sering dianggap negatif atau tidak diinginkan, yaitu kefakiran (kemiskinan) dan kematian, sebenarnya memiliki nilai kebaikan yang tersembunyi. Dalam perspektif ini, kefakiran dan kematian bukanlah hal yang semata-mata harus dihindari atau ditakuti, melainkan bisa membawa manfaat atau pelajaran yang mendalam jika dipahami dengan benar.

Kefakiran, meskipun sering dipandang sebagai kondisi yang sulit dan penuh cobaan, dapat mengajarkan seseorang tentang kerendahan hati, ketergantungan kepada Allah, dan pentingnya bersabar. Orang yang mengalami kefakiran mungkin lebih mendekatkan diri kepada Allah, menyadari keterbatasan dirinya, dan lebih bersyukur atas nikmat yang sedikit sekalipun.

Kematian, di sisi lain, adalah akhir dari kehidupan dunia dan pintu menuju kehidupan abadi. Bagi seorang Muslim, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan diterima sebagai bagian dari takdir Allah. Kematian mengingatkan manusia tentang sifat fana dunia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati.

Dengan demikian, meskipun kefakiran dan kematian sering dibenci atau dihindari, mereka memiliki kebaikan tersendiri dalam konteks spiritual dan dapat menjadi jalan menuju kedekatan dengan Allah dan perbaikan diri.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Rezeki

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang rezeki, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

الرِّزْقُ يَأْتِى الْعَبْدَ فِي أَيِّ سِيْرَةٍ سَارَ , لَا تَقْوَ مُتَّقٍ تَزِيْدُهُ , وَلَا فُجُوْرُ فَاجِرٍ يُنْقِصُهُ , بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَبْدِ سِتْرٌ وَالرِّزْقُ طَالِبُهُ

Rezeki datang kepada seorang hamba melalu jalan apapun yang ia lewati. Ketakwaan seseorang tidak bisa menyebabkannya bertambah. Dosa seseorang tidak bisa menyebabkannya berkurang. Antara ia dan hamba ada hijab. Ia (rezeki) akan datang mencari hamba tersebut.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan konsep bahwa rezeki yang diberikan oleh Allah kepada setiap hamba sudah ditentukan dan akan datang kepada mereka tanpa terpengaruh oleh tindakan baik atau buruk mereka. Rezeki, dalam hal ini, mencakup segala bentuk karunia atau pemberian Allah, seperti kekayaan, kesehatan, atau kebutuhan hidup lainnya.

Abdullah bin Mas’ud menegaskan bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah dan akan sampai kepada hamba-Nya melalui berbagai cara, terlepas dari jalan hidup yang mereka tempuh. Ketakwaan, atau ketaatan kepada Allah, tidak akan menambah rezeki yang sudah ditetapkan. Begitu pula, dosa atau kesalahan seseorang tidak akan mengurangi rezeki yang telah ditentukan baginya.

"Antara ia dan hamba ada hijab" berarti ada semacam tabir atau penghalang yang menghalangi hamba untuk melihat dari mana atau bagaimana rezeki itu datang, tetapi rezeki tersebut pasti akan datang kepadanya, bahkan mencarinya. Ini menggambarkan keyakinan bahwa rezeki adalah bagian dari takdir yang tidak bisa dihindari atau diubah oleh manusia.

Kesimpulannya, kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud mengajarkan bahwa manusia tidak perlu terlalu khawatir tentang rezeki, karena Allah telah menjamin bahwa setiap orang akan menerima rezeki mereka sesuai dengan ketetapan-Nya, dan bahwa usaha serta ketakwaan lebih berkaitan dengan menjalani kehidupan yang diberkati, bukan menambah atau mengurangi rezeki.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Bahaya Menolak Nasehat

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

كَفَى بِالرَّجُلِ إِثْمًا أَنْ يُقَالَ لَهُ : اتَّقِ اللهَ , فَيَغْضَبُ وَيَقُوْلُ : عَلَيْكَ نَفْسَكَ

Cukuplah seseorang akan berdosa ketika dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah!” dia marah dan berkata, “Urus dirimu sendiri!”

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menggarisbawahi sikap yang menunjukkan ketidakpedulian atau bahkan penolakan terhadap nasihat keagamaan, khususnya ketika seseorang diingatkan untuk bertakwa kepada Allah. Saat seseorang menasihati orang lain untuk bertakwa, maksudnya adalah mengingatkan mereka agar hidup sesuai dengan perintah Allah, menjauhi dosa, dan berperilaku baik. Namun, jika orang yang dinasihati tersebut merespons dengan marah dan berkata, “Urus dirimu sendiri!” ini mencerminkan sikap arogan dan enggan menerima nasihat yang baik.

Abdullah bin Mas’ud menekankan bahwa marah dan menolak nasihat yang bertujuan baik sudah cukup untuk dianggap sebagai dosa. Dalam Islam, menerima nasihat dengan lapang dada dan sikap rendah hati adalah tanda ketakwaan. Sebaliknya, menolak nasihat, apalagi dengan kemarahan, menunjukkan sikap yang bertentangan dengan ketakwaan.

Respons "Urus dirimu sendiri!" menunjukkan bahwa orang tersebut lebih mementingkan ego dan tidak mau menerima kritik atau petunjuk yang dapat memperbaiki dirinya. Ini dianggap sebagai bentuk kesombongan, yang dalam Islam adalah sifat yang sangat tercela. Kesimpulannya, kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud ini mengajarkan pentingnya sikap terbuka terhadap nasihat yang baik dan menghindari kesombongan, karena menolak nasihat untuk bertakwa sendiri sudah merupakan sebuah dosa.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Konsep Jamaah

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang konsep jamaah, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

لَيْسَ الْجَمَاعَةُ بِكَثْرَةِ النَّاسِ , بَلْ مَنْ مَعَهُ الْحَقُّ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ

Jamaah bukanlah memiliki banyak massa, tapi orang yang memiliki kebenaran. Itulah jamaah.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan konsep "jamaah" dalam Islam, yang tidak semata-mata diukur dari jumlah pengikut atau massa, tetapi dari kebenaran yang dipegang oleh orang-orang tersebut. Dalam bahasa Arab, "jamaah" sering diartikan sebagai kelompok atau komunitas. Namun, dia menekankan bahwa inti dari jamaah bukanlah pada jumlah anggotanya, melainkan pada komitmen mereka terhadap kebenaran.

Kebenaran dalam konteks ini mengacu pada ajaran Islam yang murni dan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Jamaah yang sejati adalah kelompok orang yang berpegang teguh pada ajaran tersebut, meskipun jumlah mereka sedikit. Ini menunjukkan bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas dalam menentukan keabsahan atau nilai dari suatu kelompok.

Abdullah bin Mas’ud juga mengingatkan kita bahwa popularitas atau banyaknya pengikut tidak selalu menjadi indikator kebenaran. Dalam sejarah Islam, sering kali hanya sedikit orang yang tetap teguh dalam kebenaran, sementara mayoritas mungkin tersesat atau terpengaruh oleh hal-hal yang tidak benar.

Kesimpulannya, jamaah yang sebenarnya adalah mereka yang berdiri di atas kebenaran, terlepas dari apakah mereka sedikit atau banyak. Kebenaran adalah fondasi utama yang menentukan nilai sebuah kelompok dalam pandangan Islam.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Jalan Menuju Hakikat Iman yang Sejati

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang jalan menuju hakikat iman yang sejati, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

لَا يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ حَتَّى يَحُلَّ بِذِرْوَتِهِ , وَلَا يَحُلَّ بِهَا حَتَّى يَكُوْنَ الْفَقْرُ إِلَيْهِ أَحَبُّ مِنَ الْغِنَى , وَالتَّوَاضُعُ مِنَ الشَّرَفِ , وَيَكُوْنَ حَامِدُهُ وَذَامُّهُ عِنْدَهُ سَوَاء

Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat iman sampai dia turun dari segala sesuatu yang ada di atasnya. Dia tidak turun dari segala sesuatu yang ada di atasnya sampai kefakiran lebih disukainya dari pada kecukupan, bersikap rendah hati lebih disukainya dari pada kemuliaan, orang yang memujinya dan orang yang mencacinya sama saja di sisinya.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan jalan menuju hakikat iman yang sejati, menekankan bahwa seorang hamba tidak akan mencapai iman yang mendalam sampai dia melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi yang membuatnya merasa lebih tinggi atau unggul. Untuk mencapai iman sejati, seseorang harus menurunkan dirinya dari segala bentuk keinginan, kedudukan, atau status yang dianggapnya lebih tinggi dari orang lain.

Pertama, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan bahwa seorang hamba harus lebih menyukai kefakiran (kemiskinan) daripada kecukupan. Ini bukan berarti mengejar kemiskinan, tetapi lebih kepada sikap hati yang menerima keadaan apa adanya dan tidak terikat pada materi atau kekayaan. Kedua, dia harus lebih menyukai sikap rendah hati daripada kemuliaan atau pujian. Ini berarti menempatkan kerendahan hati di atas ego atau harga diri yang tinggi, tidak mencari penghormatan atau pengakuan dari orang lain.

Ketiga, Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa seorang hamba yang mencapai iman sejati akan melihat pujian dan cacian dari orang lain dengan cara yang sama—mereka tidak mempengaruhinya. Ini menunjukkan kebebasan dari ego dan penilaian manusia, di mana fokusnya hanya pada penilaian Allah.

Kesimpulannya, Abdullah bin Mas’ud menekankan bahwa hakikat iman tercapai melalui sikap melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi, memelihara kerendahan hati, dan memandang pujian serta kritik dengan sikap yang sama, menunjukkan ketenangan jiwa dan ketergantungan sepenuhnya kepada Allah.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Sifat Kebenaran dan Kebatilan

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang sifat kebenaran dan kebatilan, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

الحَقُّ ثَقِيْلٌ مَرِيءٌ , وَالبَاطِلُ خَفِيْفٌ وَبِيءٌ , وَرُبَّ شَهْوَةِ سَاعَةٍ تُوْرِثٌ حُزْنًا طَوِيْلا

Kebenaran adalah sesuatu yang berat dan sangat indah. Kebatilah adalah sesuatu yang ringan dan sangat buruk. Betapa banyak nafsu sesaat yang mewariskan kesedihan yang panjang.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan tentang sifat kebenaran dan kebatilan, serta dampak dari mengikuti nafsu sesaat. Kebenaran digambarkan sebagai sesuatu yang berat, yang berarti sering kali sulit untuk dipegang atau dijalani karena mungkin memerlukan pengorbanan, kesabaran, dan keteguhan. Namun, meskipun berat, kebenaran juga sangat indah, mencerminkan bahwa kebenaran membawa kepuasan, kedamaian batin, dan keberkahan yang langgeng.

Sebaliknya, kebatilan atau kesalahan digambarkan sebagai sesuatu yang ringan, menunjukkan bahwa kebatilan sering kali tampak mudah dan menarik di permukaan, karena tidak memerlukan usaha besar atau disiplin. Namun, meskipun mudah, kebatilan adalah sesuatu yang sangat buruk, yang mengarah pada konsekuensi negatif baik di dunia maupun di akhirat.

Abdullah bin Mas’ud juga memperingatkan tentang bahaya mengikuti nafsu sesaat. Nafsu sesaat merujuk pada dorongan atau keinginan yang muncul tiba-tiba dan sering kali tidak dipikirkan dengan matang. Memuaskan nafsu sesaat mungkin memberikan kepuasan sementara, tetapi bisa meninggalkan kesedihan atau penyesalan yang panjang. Ini menekankan pentingnya mengendalikan diri dan berpikir jangka panjang, karena tindakan yang diambil secara impulsif bisa berakibat buruk.

Secara keseluruhan, Abdullah bin Mas’ud mengajarkan bahwa meskipun kebenaran mungkin sulit dijalani, ia membawa keindahan dan kebahagiaan yang abadi, sedangkan kebatilan dan nafsu sesaat, meskipun tampak mudah dan menggoda, pada akhirnya akan membawa kesedihan dan kerugian yang berkepanjangan.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Pentingnya Menjaga Lisan atau Ucapan

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang pentingnya menjaga lisan atau ucapan, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

وَاللهِ مَا عَلَى الْأَرْضِ شَيْئٌ أَحْوَجُ إِلَى طُوْلِ سِجْنٍ مِنَ اللِّسَانِ

Demi Allah! Tidak ada sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang sangat lama dari pada lisan.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan pentingnya menjaga lisan atau ucapan, mengingatkan bahwa lisan adalah bagian dari diri yang paling membutuhkan kontrol ketat, seolah-olah harus "dipenjara" untuk waktu yang lama. Ini berarti bahwa kata-kata yang kita ucapkan memiliki potensi besar untuk menyebabkan kerugian, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, menjaga lisan atau mengendalikan ucapan dianggap sebagai tindakan yang sangat penting dalam menjalani kehidupan yang benar dan berakhlak.

Dalam Islam, ucapan yang buruk atau tidak terkendali bisa membawa dampak negatif yang serius, seperti fitnah, gosip, kebohongan, atau perkataan yang menyakiti hati orang lain. Abdullah bin Mas’ud menggunakan metafora "dipenjara" untuk menunjukkan betapa pentingnya membatasi dan mengontrol apa yang kita katakan, karena satu kata yang salah bisa menyebabkan kerugian besar atau menciptakan masalah yang panjang.

Kesimpulannya, Abdullah bin Mas’ud mengajarkan bahwa menjaga lisan adalah tindakan yang harus dilakukan dengan disiplin tinggi. Lisan yang tidak terkendali bisa menimbulkan banyak dosa dan kerugian, sehingga perlu "dipenjara" atau dikendalikan dengan sangat hati-hati untuk mencegah ucapan yang bisa membawa keburukan.

Kata-Kata Sufi Abdullah bin Mas’ud Tentang Cara Berbicara yang Baik

Jika Anda ingin tahu kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud tentang cara berbicara yang baik, perhatikan kata-kata sufi di bawah ini!

أُنْذِرُكُمْ فُضُوْلَ الْكَلَامِ , فَحَسْبُ امْرِئٍ مَا بَلَغَ بِهِ حَاجَته

Saya peringatkan kalian agar tidak berlebihan ketika berbicara. Cukuplah seseorang berbicara sesuai kebutuhannya.

Dalam kata-kata sufi di atas, Abdullah bin Mas’ud memberikan nasihat penting tentang bagaimana seseorang seharusnya berbicara, menekankan perlunya menghindari berlebihan dalam berbicara. Nasihat ini mengingatkan agar seseorang berbicara hanya sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengatakan lebih dari yang diperlukan.

Berlebihan dalam berbicara dapat mengarah pada berbagai masalah, seperti mengatakan hal-hal yang tidak relevan, menyakiti perasaan orang lain, menyebarkan informasi yang tidak benar, atau bahkan terlibat dalam gosip dan fitnah. Berbicara secara berlebihan juga bisa menunjukkan kurangnya pengendalian diri dan bisa mengurangi nilai dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan.

Dengan berbicara sesuai kebutuhan, seseorang tidak hanya menjaga diri dari potensi kesalahan, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan dan kematangan. Kata-kata yang terukur dan tepat sasaran lebih dihargai dan lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Abdullah bin Mas’ud menasehati seseorang untuk berpikir sebelum berbicara, mempertimbangkan apakah apa yang akan dikatakan benar-benar diperlukan dan bermanfaat.

Secara keseluruhan, nasihat ini mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan ketepatan dalam berbicara, untuk menjaga kehormatan diri dan menghindari dampak negatif dari ucapan yang tidak perlu.

Itulah kata-kata sufi Abdullah bin Mas’ud dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Apakah Anda paham? Jika Anda punya pertanyaan, silahkan menulisnya di kolom komentar.

Saya kira cukup sekian untuk artikel ini. Semoga bermanfaat. Amin.

Sampai jumpa lagi di artikel berikutnya!

Posting Komentar

Posting Komentar